Opini  

OPINI : “Menelisik Soal Pernikahan dan Perceraian di Jabar”

Ilustrasi.*

Oleh : Ummu Fahhala, S.Pd.
(Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi)

JURNALIS BICARA – Setiap dari kita pasti akan senang ketika akan menikah dan sedih ketika bercerai. Itulah alaminya manusia yang diberikan naluri untuk mempertahankan jenis. Pernikahan terjadi ketika Allah Swt telah menetapkan jodoh untuk kita dan kita sudah mendapatkan calon pasangan yang cocok, tapi sebaliknya ketika pasangan kita anggap sudah tidak cocok, hilang rasa cinta atau banyak terjadi masalah dalam rumah tangga maka perceraian pun tak dapat dihindarkan. Apakah angka menurunnya pernikahan dan meningkatnya perceraian terjadi secara alami atau bahkan menggejala secara sistemik?

Di Jawa Barat, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dimuat dalam laporan Provinsi Jawa Barat Dalam Angka 2024, menyebutkan bahwa jumlah orang yang menikah sepanjang 2023 mengalami penurunan dari tahun sebelumnya, yang jumlahnya mencapai 28 ribu pernikahan. Pada tahun 2021 angka pernikahan mencapai 364.484. Jumlah itu kemudian menurun menjadi 336.912 di tahun 2022, dan 317.971 di tahun 2023, (detik.com, 07/03/2024).

Sedangkan angka perceraian, berbanding terbalik dengan perikahan. Pada 2023, provinsi dengan kasus perceraian tertinggi di Indonesia adalah Jawa Barat, mencapai 102.280 kasus atau 22,06% dari total kasus perceraian nasional, (katadata.co.id, 29/02/2024).

Tingginya angka perceraian dan turunnya angka pernikahan tidak hanya terjadi di Jawa Barat, tetapi merata di Indonesia. Ini menjadi fenomena yang berkaitan dengan ketahanan keluarga, yang cukup menyita perhatian kita dan mungkin juga menjadi kegelisahan kita bersama. Kita harus memahami penyebab dan solusi yang benar, untuk menanggulangi akibat buruk yang ditimbulkannya, yakni anak-anak dan generasi setelahnya menjadi tidak harmonis atau broken home. Juga berakibat buruk pada generasi muda yang akan takut atau menunda menikah (waithood) dan enggan berketurunan (Childfree). Ini bisa mengantarkan generasi Indonesia sampai pada situasi krisis generasi (lost generation), sebagaimana yang sudah terjadi pada beberapa negara-negara lain seperti Amerika, Eropa dan Jepang.

Baca Juga :  Wabup.Sukabumi, Minta PII Lebih Kreatif,Inovatif Dan Menghasilkan Karya Nyata Anak Bangsa

 

Sistem Kapitalisme Sekuler Penyebabnya

Maraknya kasus perceraian di negeri muslim ini, menujukkan bahwa struktur dan ketahanan keluarga semakin rapuh. Penyebab semua itu, lebih banyak didominasi faktor perselisihan yang terus-menerus, masalah ekonomi dan penelantaran hak dalam keluarga. Mewujudkan keluarga ideal menjadi sesuatu yang sulit di tengah situasi yang karut-marut seperti saat ini. Krisis multidimensi muncul akibat penerapan sistem kapitalisme sekuler yang mengganggu pola relasi antar anggota keluarga dan bangunan keluarga, hingga rentan perpecahan. Bahkan tak hanya struktur keluarga yang goyah, tapi masyarakat pun ikut goyah, padahal antara keluarga dan masyarakat, keduanya saling berpengaruh.